Jumat, 27 Februari 2009

Potret Buram Seni Sunda Kini

oleh : NasrulAzwar
Pengarang : MAS NANU MUDA

HIDUP, tumbuh, dan berkembangnya seni Sunda bergantung pada orang Sunda itu sendiri.
Oleh karena itu, agar keseniannya tetap survive, perlu didukung oleh berbagai pihak. Sudah barang tentu, motor penggeraknya adalah mereka
yang punya kareueus pada seni Sunda, yaitu urang Sunda.
Arnold Hauser dan Janet Wolff menyatakan, seni adalah produk sosial.
Begitu juga seni Sunda, merupakan produk sosial urang Sunda.

Tentu saja yang jadi penyokongnya adalah seniman, masyarakat, dan pemerintah, sekaligus menjadi pembentuk dan yang menghadirkan gaya seni yang khas, juga secara bersama-sama menjadi pembentuk selera baru dalam budaya Sunda. Sudah tentu, pemerintah punya misi budaya yang secara halus terbungkus lewat agenda yang dikemas melalui program pelestarian dan pengembangan seni dan budaya. Corongnya adalah lembaga kebudayaan (Disbudpar).
Dengan demikian, pemerintah adalah power. Pada kenyataannya, power dan culture saling mengisi. Seperti diungkapkan Eisenstadt bahwa culture dan power tetap merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Power tanpa culture tak punya ciri, pun demikian ciri itu sendiri tanpa dukungan kekuasaan tidak akan lestari. Yang dipertanyakan, sejauh mana mereka benar-benar memiliki rasa kecintaan pada seni dan budaya Sunda, sampai anggaran kesenian yang sudah minim malah dipangkas.

Ironisnya lagi, untuk pengadaan laptop 20 anggota DPRD Kota Bandung dianggarkan dalam APBD 2007 Rp 500 juta, yang berarti harga untuk satu unit laptop Rp 25 juta (Pikiran Rakyat, 29/3/2007). Sementara laptop yang cukup bagus harganya hanya antara Rp 12-Rp 15 juta ("PR", 30/3/2007). Bayangkan bila anggaran sebesar itu dipergunakan untuk merevitalisasi seni tradisi yang akan punah!
Dana Rp 25 juta itu sungguh sangat berarti dan ideal untuk membuat karya tari yang representatif, misalnya untuk drama tari atau merevitalisasi tari Sunda buhun yang dikemas dengan citra rasa baru.
Yang lebih menyedihkan, pameran musik perkusi karya Dodong Kodir yang dikurasi Isa Perkasa di Galeri Rumah Teh Taman Budaya Jawa Barat yang batal dilaksanakan pada tanggal 21-28 April 2007, karena dananya belum turun (cair) dari Gedung Sate.
Padahal, pameran itu sudah diagendakan jauh hari oleh Taman Budaya bersama tim kurator serta direkomendasikan oleh Kadisbudpar Jawa Barat. Ini menunjukkan bahwa tidak ada keseriusan pemerintah dalam menumbuhkembangkan iklim kreativitas seniman yang potensial.
Potret buram lain yang turut mengeliminasi gairah seniman dalam kreativitas, terutama bagi mereka yang menyandarkan dana stimulan pada Disbudpar.Hal yang dipertanyakan juga adalah menyoal tim misi kesenian di bawah naungan Disbudpar (Jawa Barat) dan Dinas Kebudayaan
dan Pariwisata (Disbudpar) sejumlah kabupaten dan kota. Sudah tidak aneh, biasanya Disbudpar dalam menyiapkan misi kesenian, para anggotanya (penari, pengrawit, dan kreatornya) diambil dari berbagai grup yang ada di Jawa Barat.
Namun yang sangat disayangkan, perekrutan para anggota tim sepertinya tidak transparan dan tanpa melalui seleksi yang ketat yang berdasarkan penilaian objektif yang proposional dan profesional dari para inohong. Selayaknya, para anggota tim yang terlibat misi kesenian, personelnya bukan permanen seperti grup dan monopoli yang melulu orang Bandung, atau pelakunya itu-itu saja.
Mengingat lembaga ini milik orang Sunda (Jawa Barat), seniman yang ada di daerah pun seharusnya dilibatkan secara bergiliran untuk misi kesenian tersebut. Mereka yang direkrut itu
tentunya telah melalui seleksi yang ketat, yang secara kompetitif memiliki skill, nalar, serta pengalaman yang tentunya sesuai dengan bidang yang digelutinya.
Salah satu hal yang paling penting disadari bersama arti fungsi lembaga adalah sebagai fasilitator, dan seniman adalah sebagai pelaku yang mengusung mengisi kemajuan aktivitas kesenian, dalam kaitan agar seni dan budaya tetap ajek.
Sebagaimana telah diungkapkan di muka, seniman, kesenian beserta aktivitasnya adalah sebagai ciri atau identitas suatu budaya, dengan kata lain ia adalah kultur. Sedangkan pemerintah adalah sebagai pengayom dan memberikan stimulasi pada karya seniman untuk berkarya.
Dengan kata lain ia adalah power. Cag!

Sumber :
http://id.shvoong.com/social-sciences/1787256-potret-buram-seni-sunda-kini/

PENCAK SILAT

Pencak Silat atau Silat (berkelahi dengan menggunakan teknik pertahanan diri) ialah seni bela diri Asia yang berakar dari budaya Melayu. Seni bela diri ini secara luas dikenal di Indonesia, Malaysia, Brunei, dan Singapura tapi bisa pula ditemukan dalam berbagai variasi di berbagai negara sesuai dengan penyebaran suku Melayu, seperti di Filipina Selatan dan Thailand Selatan. Berkat peranan para pelatih asal Indonesia, saat ini Vietnam juga telah memiliki pesilat-pesilat yang tangguh.

Induk organisasi pencak silat di Indonesia adalah IPSI (Ikatan Pencak Silat Indonesia). Persilat (Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa), adalah nama organisasi yang dibentuk oleh Indonesia, Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam untuk mewadahi federasi-federasi pencak silat di berbagai negara.

Sejarah

Silat diperkirakan menyebar di kepulauan nusantara semenjak abad ke-7 masehi, akan tetapi asal mulanya belum dapat dipastikan. Meskipun demikian, silat saat ini telah diakui sebagai budaya suku Melayu dalam pengertian yang luas,[1] yaitu para penduduk daerah pesisir pulau Sumatera dan Semenanjung Malaka, serta berbagai kelompok etnik lainnya yang menggunakan lingua franca bahasa Melayu di berbagai daerah di pulau-pulau Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan lain-lainnya juga mengembangkan sebentuk silat tradisional mereka sendiri. Sheikh Shamsuddin (2005)[2] berpendapat bahwa terdapat pengaruh ilmu beladiri dari Cina dan India dalam silat. Bahkan sesungguhnya tidak hanya itu. Hal ini dapat dimaklumi karena memang kebudayaan Melayu (termasuk Pencak Silat) adalah kebudayaan yang terbuka yang mana sejak awal kebudayaan Melayu telah beradaptasi dengan berbagai kebudayaan yang dibawa oleh pedagang maupun perantau dari India, Cina, Arab, Turki, dan lainnya. Kebudayaan-kebudayaan itu kemudian berasimilasi dan beradaptasi dengan kebudayaan penduduk asli. Maka kiranya historis pencak silat itu lahir bersamaan dengan munculnya kebudayaan Melayu. Sehingga, setiap daerah umumnya memiliki tokoh persilatan yang dibanggakan. Sebagai contoh, bangsa Melayu terutama di Semenanjung Malaka meyakini legenda bahwa Hang Tuah dari abad ke-14 adalah pendekar silat yang terhebat.[3] Hal seperti itu juga yang terjadi di Jawa, yang membanggakan Gajah Mada.

Perkembangan dan penyebaran silat secara historis mulai tercatat ketika penyebarannya banyak dipengaruhi oleh kaum Ulama, seiiring dengan penyebaran agama Islam pada abad ke-14 di Nusantara. Catatan historis ini dinilai otentik dalam sejarah perkembangan pencak silat yang pengaruhnya masih dapat kita lihat hingga saat ini. Kala itu pencak silat telah diajarkan bersama-sama dengan pelajaran agama di surau-surau. Silat lalu berkembang dari sekedar ilmu beladiri dan seni tari rakyat, menjadi bagian dari pendidikan bela negara untuk menghadapi penjajah. Disamping itu juga pencak silat menjadi bagian dari latihan spiritual.[2]


Istilah dalam Pencak Silat

Sikap dan Gerak

Pencak silat ialah sistem yang terdiri atas sikap (posisi) dan gerak-gerik (pergerakan). Ketika seorang pesilat bergerak ketika bertarung, sikap dan gerakannya berubah mengikuti perubahan posisi lawan secara berkelanjutan. Segera setelah menemukan kelemahan pertahanan lawan, maka pesilat akan mencoba mengalahkan lawan dengan suatu serangan yang cepat.


Teknik

Pencak Silat memiliki macam yang banyak dari teknik bertahan dan menyerang. Praktisi biasa menggunakan tangan, siku, lengan, kaki, lutut dan telapak kaki dalam serangan. Teknik umum termasuk tendangan, pukulan, sandungan, sapuan, mengunci, melempar, menahan, mematahkan tulang sendi, dan lain-lain.

Jurus

Pesilat berlatih dengan jurus-jurus. Jurus ialah rangkaian gerakan dasar untuk tubuh bagian atas dan bawah, yang digunakan sebagai panduan untuk menguasai penggunaan tehnik-tehnik lanjutan pencak silat (buah), saat dilakukan untuk berlatih secara tunggal atau berpasangan. Penggunaan langkah, atau gerakan kecil tubuh, mengajarkan penggunaan pengaturan kaki. Saat digabungkan, itulah Dasar Pasan, atau aliran seluruh tubuh.

Aspek dan bentuk
Kesenian Randai dari Sumatra Barat memakai silek (silat) sebagai unsur tariannya.

Terdapat 4 aspek utama dalam pencak silat, yaitu:

1. Aspek Mental Spiritual: Pencak silat membangun dan mengembangkan kepribadian dan karakter mulia seseorang. Para pendekar dan maha guru pencak silat jaman dahulu seringkali harus melewati tahapan semadi, tapa, atau aspek kebatinan lain untuk mencapai tingkat tertinggi keilmuannya.
2. Aspek Seni Budaya: Budaya dan permainan "seni" pencak silat ialah salah satu aspek yang sangat penting. Istilah Pencak pada umumnya menggambarkan bentuk seni tarian pencak silat, dengan musik dan busana tradisional.
3. Aspek Bela Diri: Kepercayaan dan ketekunan diri ialah sangat penting dalam menguasai ilmu bela diri dalam pencak silat. Istilah silat, cenderung menekankan pada aspek kemampuan teknis bela diri pencak silat.
4. Aspek Olah Raga: Ini berarti bahwa aspek fisik dalam pencak silat ialah penting. Pesilat mencoba menyesuaikan pikiran dengan olah tubuh. Kompetisi ialah bagian aspek ini. Aspek olah raga meliputi pertandingan dan demonstrasi bentuk-bentuk jurus, baik untuk tunggal, ganda atau regu.

Bentuk pencak silat dan padepokannya (tempat berlatihnya) berbeda satu sama lain, sesuai dengan aspek-aspek yang ditekankan. Banyak aliran yang menemukan asalnya dari pengamatan atas perkelahian binatang liar. Silat-silat harimau dan monyet ialah contoh dari aliran-aliran tersebut. Adapula yang berpendapat bahwa aspek bela diri dan olah raga, baik fisik maupun pernapasan, adalah awal dari pengembangan silat. Aspek olah raga dan aspek bela diri inilah yang telah membuat pencak silat menjadi terkenal di Eropa.

Bagaimanapun, banyak yang berpendapat bahwa pokok-pokok dari pencak silat terhilangkan, atau dipermudah, saat pencak silat bergabung pada dunia olah raga. Oleh karena itu, sebagian praktisi silat tetap memfokuskan pada bentuk tradisional atau spiritual dari pencak silat, dan tidak mengikuti keanggotaan dan peraturan yang ditempuh oleh Persilat, sebagai organisasi pengatur pencak silat sedunia.

Tingkat kemahiran

Secara ringkas, murid silat atau pesilat dibagi menjadi beberapa tahap atau tingkat kemahiran, yaitu:

1. Pemula, diajari semua yang tahap dasar seperti kuda-kuda,teknik tendangan, pukulan, tangkisan, elakan,tangkapan, bantingan, olah tubuh, maupun rangkaian jurus dasar perguruan dan jurus standar IPSI
2. Menengah, ditahap ini, pesilat lebih difokuskan pada aplikasi semua gerakan dasar, pemahaman, variasi, dan disini akan mulai terlihat minat dan bakat pesilat, dan akan disalurkan kepada masing-masing cabang, misalnya Olahraga & Seni Budaya.
3. Pelatih, hasil dari kemampuan yang matang berdasarkan pengalaman di tahap pemula, dan menengah akan membuat pesilat melangkah ke tahap selanjutnya, dimana mereka akan diberikan teknik - teknik beladiri perguruan, dimana teknik ini hanya diberikan kepada orang yang memang dipercaya, dan mampu secara teknik maupun moral, karena biasanya teknik beladiri merupakan teknik tempur yang sangat efektif dalam melumpuhkan lawan / sangat mematikan .
4. Pendekar, merupakan pesilat yang telah diakui oleh para sesepuh perguruan, mereka akan mewarisi ilmu-ilmu rahasia tingkat tinggi.

Pencak Silat di dunia

Pencak Silat telah berkembang pesat selama abad ke-20 dan telah menjadi olah raga kompetisi di bawah penguasaan dan peraturan Persilat (Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa, atau The International Pencak Silat Federation). Pencak silat sedang dipromosikan oleh Persilat di beberapa negara di seluruh 5 benua, dengan tujuan membuat pencak silat menjadi olahraga Olimpiade. Persilat mempromosikan Pencak Silat sebagai kompetisi olah raga internasional. Hanya anggota yang diakui Persilat yang diizinkan berpartisipasi pada kompetisi internasional.

Kini, beberapa federasi pencak silat nasional Eropa bersama dengan Persilat telah mendirikan Federasi Pencak Silat Eropa. Pada 1986 Kejuaraan Dunia Pencak Silat pertama di luar Asia, mengambil tempat di Wina, Austria.

Pada tahun 2002 Pencak Silat diperkenalkan sebagai bagian program pertunjukan di Asian Games di Busan, Korea Selatan untuk pertama kalinya. Kejuaraan Dunia terakhir ialah pada 2002 mengambil tempat di Penang, Malaysia pada Desember 2002.

Selain dari upaya Persilat yang membuat pencak silat sebagai pertandingan olahraga, masih ada banyak aliran-aliran tua tradisional yang mengembangkan pencak silat dengan nama Silek dan Silat di berbagai belahan dunia. Diperkirakan ada ratusan aliran (gaya) dan ribuan perguruan.

Padepokan Pencak Silat Indonesia

Padepokan adalah istilah Jawa yang berarti sebuah kompleks perumahan dengan areal cukup luas yang disediakan untuk belajar dan mengajar pengetahuan dan keterampilan tertentu. Padepokan yang disediakan untuk belajar dan mengajar Pen-cak Silat dinamakan Padepokan Pencak Silat.

Padepokan Pencak Silat Indonesia (PnPSI) adalah padepokan berskala nasional dan internasional yang berlokasi di di tas lahan yang luasnya sekitar 5,2 hektar di kompleks Taman Mini Indonesia Indah. Luas total bangunannya sekitar 8.700 m2 dan luas total selasar-selasarnya sekitar 5.000 m2. Padepokan ini secara resmi dibuka oleh Presiden Soeharto pada tanggal 20 April 1997.

Padepokan Pencak Silat Indonesia (PnPSI) mempunyai sekurang-kurangnya 5 fungsi, yakni :

1. Sebagai pusat informasi, pendidikan, penyajian dan promosi berbagai hal yang menyangkut Pencak Silat.
2. Sebagai pusat berbagai kegiatan yang berhubu-ngan dengan upaya pelestarian, pengembangan, penyebaran dan pening-katan citra Pencak Silat dan nilai-nilainya.
3. Sebagai sarana untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan masyarakat Pencak Silat Indonesia.
4. Sebagai sarana untuk mempererat persahabatan diantara masyarakat Pencak Silat di berbagai negara.
5. Sebagai sarana untuk memasyarakatkan 2 kode etik manusia Pencak Silat, yakni : Prasetya Pesilat Indonesia dan Ikrar Pesilat.

Organisasi Pencak Silat

* PERSILAT- Persekutuan Pencak Silat Antara Bangsa
* IPSI - Ikatan Pencak Silat Indonesia
* PESAKA Malaysia - Persekutuan Silat Kebangsaan Malaysia
* PERSISI - Persekutuan Silat Singapore
* EPSF - European Pencak Silat Federation

Sampai saat ini Anggota Organisasi Pencak Silat yang sudah terdaftar/tercatat di PERSILAT sebanyak 33 organisasi di seluruh dunia.

Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Pencak_silat

UU APP

Inilah UU yang pernah membuat PRO dan KONTRA itu. Karena sudah disahkan, kita tetap menghargai upaya pemerintah. Harapan kita UU ini akan berdampak dan membawa Seni dan Budaya sebagai aset bangsa Indonesia tetap lestari.

***


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :

a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi nilai nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupa bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi semakin berkembang luas di tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum dapat memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu membentuk Undang-Undang tentang pornografi;

Mengingat :

Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat (2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik
Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan, kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Pasal 3

Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur, menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha esa, serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan masyarakat Indonesia yang majemuk.
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi seks di masyarakat.




BAB II

LARANGAN DAN PEMBATASAN
Pasal 4


(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat (Penjelasan: Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri), memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang (Penjelasan: Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang" antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual).
b. kekerasan seksual (Penjelasan: Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan);.
c. masturbasi atau onani;

d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan (Penjelasan: Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit);
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak (Penjelasan: Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak).

(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5

Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1). (Penjelasan: Yang dimaksud dengan “mengunduh” (download) adalah mengambil fail dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya).

Pasal 6

Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan (Penjelasan: Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri. Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundang-undangan" misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film, lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan, laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya. Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan lembaga yang dimaksud).

Pasal 7

Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi (Penjelasan: Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana).

Pasal 9

Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi.

Pasal 10

Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya (Penjelasan: Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan seksual, masturbasi, atau onani).


Pasal 11

Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.

Pasal 12

Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Pasal 13

(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) wajib berdasarkan pada peraturan perundang-undangan (Penjelasan: Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi, membuat, memperbanyak, atau menggandakan. Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, atau menyediakan. Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan. Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)"
dalam ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya).
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus (Penjelasan: Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus" misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi).

Pasal 14

Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15

Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi pornografi (Penjelasan: ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak).
Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat berkewajiban memberikan pembinaan,
pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan mengenai pembinaan, pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 18

Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet; (Penjelasan: Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi).

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

Pasal 19

Untuk melakukan upaya pencegahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di wilayahnya; (Penjelasan: Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet" adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa pornografi).
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di
wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di wilayahnya.

Bagian Kedua

Peran Serta Masyarakat
Pasal 20

Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.


Pasal 21

(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;

b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap bahaya dan dampak pornografi.


(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan (Penjelasan:
Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan" adalah agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri, tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan hukum lainnya).

Pasal 22

Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat perlindungan berdasarkan peraturan perundang-undangan.

BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN
Pasal 23

Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.

Pasal 24

Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik, maupun bentuk penyimpanan data
lainnya; dan

b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran komunikasi lainnya.

Pasal 25

(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data elektronik lainnya (Penjelasan: Yang dimaksud dengan “penyidik” adalah penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia).
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban menyerahkan dan/atau
membuka data elektronik yang diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau membuka data elektronik sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.

Pasal 26

Penyidik membuat berita acara tentang tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim turunan berita acara tersebut kepada pemilik
data, penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di tempat data tersebut didapatkan.

Pasal 27

(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.

BAB VI
PEMUSNAHAN

Pasal 28

(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan membuat berita acara yang sekurang-kurangnya memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai barang yang dimusnahkan.

BAB VII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 29

Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebar-luaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 30

Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).


Pasal 31

Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan pidana penjara paling lama 4
(empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 32

Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 33

Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2
(dua) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).

Pasal 34

Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 35

Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).

Pasal 36

Setiap orang yang mempertontonkan diri atau dipertontonkan dalam pertunjukan atau di muka umum yang menggambarkan ketelanjangan,
eksploitasi seksual, persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Pasal 37

Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.


Pasal 38

Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa anak dalam menggunakan
produk atau jasa pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

Pasal 39

Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36, Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.

Pasal 40

(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungankorporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus berkantor.
(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, dijatuhkan pula pidana
denda terhadap korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan 3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap pasal dalam Bab
ini.

Pasal 41

Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.


BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 42

Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen, kementerian, dan lembaga terkait yang
ketentuannya diatur dengan Peraturan Presiden.

Pasal 43

Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk dimusnahkan.

Pasal 44

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan perundangundangan yang mengatur atau berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang - Undang ini.

Pasal 45

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang - Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR TAHUN TENTANG PORNOGRAFI

I. UMUM

Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menghormati kebhinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara. Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil
terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan pencabulan. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah
mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan oleh
meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk mendorong
penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia. Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundangundangan
yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang Nomor
32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebhinnekaan,
kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;
2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi. Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1) pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3) pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi, termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan. Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan, yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman tambahan. Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi, Undang-undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara, lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan, pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi. Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi
diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memeliharatatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.

II. PASAL DEMI PASAL

(Sudah dimuat di bagian akhir pasal-pasal yang ada Penjelasannya).



Senin, 23 Februari 2009

BTM - SPH Pasanggiri 2







Meriah sekaligus capek ngurusin anak-anak yang berlaga. Tapi semua sudah menjadi program untuk memberikan didikan positif kepada anak-anak dalam menghadapi suatu perlombaan itu harus dengan kerja keras dan berjuang semampu kita. Untuk kategori perorangan kebetulan saat ini belum ada yang masuk, kecuali untuk kategori rampak, dari Sanggar Fitria menyabet Juara III dan Juara Harapan III. Selamat untuk anak-anak. Bagi yang belum berhasil jangan berkecil hati, jadikan hal ini sebagai dorongan untuk berlatih menjadi lebih giat lagi.



Selasa, 10 Februari 2009

Jangan usik Tari Jaipong

Muncul keresahan baru di kalangan seniman sunda setelah keluarnya pernyataan dari Gubernur Jabar Ahmad Heryawan. Seperti dilansir di harian PR http://newspaper.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=58053 sbb.

Soal Jaipongan, Seniman Siap Temui Gubernur

BANDUNG, (PR).-
Menyikapi kontroversi seputar imbauan Gubernur Jawa Barat tentang tari jaipongan yang berkembang akhir-akhir ini, para seniman sepakat untuk bertemu langsung dengan Gubernur Ahmad Heryawan. Pertemuan itu diperlukan untuk mengklarifikasi duduk persoalan agar tidak berlarut-larut sehingga citra kesenian khas Sunda tersebut tetap terjaga.

Demikian benang merah pertemuan sejumlah tokoh dan seniman Jawa Barat di rumah Gugum Gumbira, Jln. Kopo 15 Bandung, Minggu (8/2) malam. Pertemuan dihadiri Tjetje H. Padmadinata, Uu Rukmana, Enoch, Memet Hamdan, Dana Setia, Yayat Hendayana, Nano S., Eka Gandara, Kang Ibing, Asep Teruna, Endang Catur Wati, Yeti Mamat, Miming, dan sejumlah tokoh lainnya.

"Saya menilai Gubernur sebagai apresiator yang baik. Beliau mau memberikan penilaian kondisi tarian jaipongan pada masa kini," ujar Gugum Gumbira, koreografer tari jaipongan.

Menurut Gugum, tari jaipongan saat ini telah mengalami pergeseran dan cenderung mengeksploitasi gerakan 3G (goyang, gitek, geol) secara berlebihan. Namun, dia menyayangkan penilaian itu hanya ditujukan kepada tari jaipongan, tidak terhadap kesenian lain, misalnya musik dangdut, seni lukis, seni patung dan lainnya.

"Kami siap bertemu dengan Gubernur, kapan pun. Kami siap diajak bicara dan menerangkan duduk perkara. Pertemuan ini penting untuk membuat jelas persoalan," katanya.

Sependapat dengan Gugum, Ketua STSI Bandung, Enoch mengatakan bahwa esensi dari karya kesenian adalah kejujuran dari penciptanya. "Seperti halnya jaipongan karya Kang Gugum, merupakan suatu bentuk karya seni yang jujur dari penciptanya. Tarian itu diambil dari sejumlah seni tari yang tumbuh dan berkembang di masyarakat," ujarnya.

Oleh karena itu, khusus untuk imbauan Gubernur, harus dikembalikan pada porsi yang sebenarnya antara suka dan tidak suka. "Hanya kebetulan dalam hal ini Gubernur yang bicara," ujar Enoch.

Sementara Dana Setia, mantan Kepala Seksi Kesenian pada Kanwil Budpar tahun 1980-an mengatakan, kasus yang menimpa jaipongan merupakan pengulangan saat Jabar dipimpin H. Aang Kunaefi. "Jalan satu-satunya adalah dilakukan pertemuan antara gubernur dan para seniman, agar jelas duduk permasalahannya," ujar Dana.

Siap bertemu

Sementara itu, Uu Rukmana mengatakan, Gubernur siap untuk berbicara dengan para seniman. Menurut Uu, Gubernur tidak pernah mengeluarkan pernyataan melarang tari jaipongan. "Bahkan Gubernur siap untuk dipertemukan dengan para seniman," ujarnya.

Gubernur, kata Uu, sangat menyenangi tari jaipongan sejak kecil hingga kini. Tari jaipongan mengingatkan dirinya saat menonton Gugum Gumbira menari jaipongan dengan Tati Saleh (almarhumah) dulu. "Untuk lebih jelasnya, Gubernur nanti yang akan menjelaskan langsung kepada para seniman," ujar Uu.

Seniman Sunda, Nano S. mengharapkan agar pernyataan Gubernur di sejumlah media massa itu diambil hikmahnya. "Hikmah yang diambil adalah agar ke depan Gubernur mau memperhatikan nasib para seniman. Pelajaran yang diambil adalah jangan sampai kehidupan seniman dipermasalahkan. Karena tanpa dipermasalahkan saja, kehidupan seniman sudah sulit," ujarnya. (A-87/A-165)***

Di harian Koran Tempo (Selasa, 10 Februari 2009), diberitakan juga sbb.